Saturday, December 30, 2006
Thursday, December 07, 2006
Kamu adalah Kecoak
Kamu adalah kecoak….
Yang diciptakan dengan energi luar biasa
Walau evolusi selama jutaan tahun
Dan radiasi nuklir menimpa
Kamu tetap bertahan
Tidak! Kamu adalah angin
Yang membelai dahan – dahan
Dan menggoyang rerumputan
Tak pernah diam
Tidak!
Kamu adalah ksatria tanpa kuda
Yang tak pernah mengeluh
Walaupun berjalan kaki menumpas musuh
Tidak!
Kamu adalah anak – anak domba
Yang harus kuhitung
sebelum tidur
Tidak!
Kamu adalah sepotong ujung pelangi …
Yang masuk dalam saku celana
Ke mana aku pergi
Selalu kubawa serta
Ilove you
Untill I find some one better
Yang diciptakan dengan energi luar biasa
Walau evolusi selama jutaan tahun
Dan radiasi nuklir menimpa
Kamu tetap bertahan
Tidak! Kamu adalah angin
Yang membelai dahan – dahan
Dan menggoyang rerumputan
Tak pernah diam
Tidak!
Kamu adalah ksatria tanpa kuda
Yang tak pernah mengeluh
Walaupun berjalan kaki menumpas musuh
Tidak!
Kamu adalah anak – anak domba
Yang harus kuhitung
sebelum tidur
Tidak!
Kamu adalah sepotong ujung pelangi …
Yang masuk dalam saku celana
Ke mana aku pergi
Selalu kubawa serta
Ilove you
Untill I find some one better
[Always Layla, Andy Eriawan]
She's give up Ma...
She’s give up Ma…
Perempuan tegar yang selama ini jadi salah satu inspirasiku itu menyerah.
Tampaknya diya tidak mau berperang melawan goresan tangan takdir yang sudah menempatkannya dalam situasi ini.
She’s give up Ma…
Setitik harapan muncul, tapi diya tetap tidak berubah. Selama ini cinta memang tidak pernah ramah pada wanita. Juga aku. Kamu. Kita, Ma..
Perlukah aku tanyakan kenapa.
She’s give up Ma…
Saat membaca sms darinya kemarin batinku ikut menangis. Bersama diya yang juga tersedu saat menulis pesan itu
“eMasnya yang mana lagi Cha?Berat kali kalo yang 24 karat,….aku kangen. dah kangen pulang Cha..”
Apakah benar yang aku dengar itu rintihan Ma? Apa benar yang aku dengar itu teriakan pedih sayatan luka? Apakah itu suatu pertanda?
Seperti Mama yang selalu bilang kalau aku selalu pulang setiap kali aku kalah.
Apakah dia juga kalah Ma?
Kalah dari nasib yang seolah sudah menjatuhkan palu penghakiman atas dirinya.
Apakah sesakit itu rasa yang dipendamnya?
She’s give up Ma…
Dan aku disini juga ikut menangis merasakan ironi yang dirasakannya Ma..
Ingin berlari mengejar orang yang kita sayangi, tapi kaki ini masih terantai dengan hierarki. Dengan dikotomi latar belakang yang diciptakan nenek buyut kita.
Persetan dengan bibit, bebet, bobot! Apa mereka bisa memberikan apa yang selama ini cinta berikan?
senyuman, tawa, bahagia yang datang saat dia ada bersama..
Apakah hierarki juga yang mengharuskannya menundukkan kepala menerima putusan Ibunya untuk berhenti. Berhenti mencintai. Berhenti jalani. Berhenti. Berhenti. Berhenti.
Kalau begitu lalu ajari.
Ajari diya bagaimana caranya untuk mencintai dan memaafkan.
Bagaimana caranya mencintai dirinya sendiri.
Dan memaafkan hidupnya yang tidak sesempurna rajutan mimpinya
Ajari dia
Karena takdir seolah punya cara tersendiri untuk itu.
Perempuan tegar yang selama ini jadi salah satu inspirasiku itu menyerah.
Tampaknya diya tidak mau berperang melawan goresan tangan takdir yang sudah menempatkannya dalam situasi ini.
She’s give up Ma…
Setitik harapan muncul, tapi diya tetap tidak berubah. Selama ini cinta memang tidak pernah ramah pada wanita. Juga aku. Kamu. Kita, Ma..
Perlukah aku tanyakan kenapa.
She’s give up Ma…
Saat membaca sms darinya kemarin batinku ikut menangis. Bersama diya yang juga tersedu saat menulis pesan itu
“eMasnya yang mana lagi Cha?Berat kali kalo yang 24 karat,….aku kangen. dah kangen pulang Cha..”
Apakah benar yang aku dengar itu rintihan Ma? Apa benar yang aku dengar itu teriakan pedih sayatan luka? Apakah itu suatu pertanda?
Seperti Mama yang selalu bilang kalau aku selalu pulang setiap kali aku kalah.
Apakah dia juga kalah Ma?
Kalah dari nasib yang seolah sudah menjatuhkan palu penghakiman atas dirinya.
Apakah sesakit itu rasa yang dipendamnya?
She’s give up Ma…
Dan aku disini juga ikut menangis merasakan ironi yang dirasakannya Ma..
Ingin berlari mengejar orang yang kita sayangi, tapi kaki ini masih terantai dengan hierarki. Dengan dikotomi latar belakang yang diciptakan nenek buyut kita.
Persetan dengan bibit, bebet, bobot! Apa mereka bisa memberikan apa yang selama ini cinta berikan?
senyuman, tawa, bahagia yang datang saat dia ada bersama..
Apakah hierarki juga yang mengharuskannya menundukkan kepala menerima putusan Ibunya untuk berhenti. Berhenti mencintai. Berhenti jalani. Berhenti. Berhenti. Berhenti.
Kalau begitu lalu ajari.
Ajari diya bagaimana caranya untuk mencintai dan memaafkan.
Bagaimana caranya mencintai dirinya sendiri.
Dan memaafkan hidupnya yang tidak sesempurna rajutan mimpinya
Ajari dia
Karena takdir seolah punya cara tersendiri untuk itu.

Marriagable: Gue Mau Nikah Asal...
Namaku Flory. Usia mendekati tiga puluh dua. Status? Tentu saja single! Karena itu Mamz memutuskan mencarikan Datuk Maringgi abad modern untukku. “Kenapa, sih, gue jadi nggak normal cuma gara-gara gue belom kawin?!” “Karena elo punya kantong rahim, Darling,” jawab Dina kalem. “Kantong rahim sama kayak susu Ultra. Mereka punya expired date.” “Yeah,” sahutku sinis. “Sementara sperma kayak wine. Masih berlaku untuk jangka waktu yang lama.” Mamz pikir aku belum menikah karena nasibku yang buruk. Dan kalau beliau tidak segera bertindak, maka nasibku akan semakin memburuk. Tapi Mamz lupa bertanya apa alasanku hingga belum tergerak untuk melangkah ke arah sana. Alasanku simple. Karena Mamz dan Papz bukan pasangan Huxtable. Mungkin jauh di dalam hatinya, mereka menyesali keputusannya untuk menikah. Atau paling tidak, menyesali pilihannya. Seperti Dina, sahabatku. “Kenapa sih elo bisa kawin sama laki?!” Dina tergelak mendengarnya. “Hormon, Darling! Kadang-kadang kerja hormon kayak telegram. Salah ketik waktu ngirim sinyal ke otak. Mestinya horny, dia ngetik cinta!” See?? “Oh my God!” desah Kika ngeri. “Pernikahan adalah waktu yang terlalu lama untuk cinta!” Yup! That’s my reason, Darling!
[diambil dari http://www.gagasmedia.net/katalog/page,shop.product_details/flypage,shop.flypage/product_id,400/ ]
buku ini cukup bisa bikinn gue spechless seharian. Making me re-think about.. Many think...
yah mungkin juga gara-gara beberapa hari ini gue baru berurusan sama masalah yang sekeluarga sama cerita dibuku diatas.
Afterall... enjoy this reading..
cause Riri Sardjono gives u more than a read.
But also a think..
Sunday, December 03, 2006
enaknya jadi anak kecil...
“Cha, inget mas Doni sama mbak Nina nggak?”
”Ha? Ingetlah,.. Kan yang ngenalin mereka Chacha Ma. Emang kenapa? Bukannya mereka nggak jadi ya?”
”Nah ya itu Cha.. Tadinya sih Mama juga ngirain gitu. Terus kemaren temen Mama cerita. Katanya ibunya mbak Nina nyusul mbak Nina ke Jakarta buat ngingetin biar sama mas Doni nggak usah diterusin.”
”Haaaaa....Apanya Ma yang nggak diterusin...? Bukannya mereka kemaren dulu pendekatan tapi malah nggak jadi ya....?”
”Ya itu. Mama juga tahu-nya gitu. Tapi kok kata temennya Mama, mbak Nina itu minta pertimbangan sama Ibunya tentang mas Doni. Yah, kalo gitu sih mestinya udah panjang ceritanya Cha.......”
”Huahhhh....Waduh....Kok gini sih... Mana gua juga nggak tahu lagi Ma. Duh. Dulu itu, trakhir kali sms-an sama mbak Nina, dia crita kalo mas Doni g pernah telp apa sms lagi. Duh, aku kan jadi nggak enak waktu itu.... Kirain Mas Doni kumat brengseknya. Udah.. Abis itu sampe’ sekarang juga nggak pernah sms-an lagi sama mbak Nina. Aku masih ngerasa nggak enak gitu ma sampe sekarang...Tapi kok nggak tahunya.... Udah serius ya Ma..?””
Ya, kalo mbak Nina sampai minta pertimbangan Ibunya berarti udah panjang kan Cha...”
”Haduh.....Chacha jadi nggak enak ati nih Ma... Gimana juga dulu kan Chacha yang ngenalin mereka. Inget nggak Ma, waktu mas Doni mau telp tapi pas mas Doni telp hp Chacha, mbak Nina udah pergi. Yah...Abis itu juga dari yang Chacha nangkep, mas Doni nggak segitu banget interest-nya sama Mbak Nina...Yaw da.. Chacha juga nggak segitu mikirnya..Emangnya kenapa sih Ma kok Ibu mbak Nina nggak ngebolehin mereka?”
”Ya itu, kalo tadi temennya Mama crita, Ibunya mbak Nina keder sama Bude-mu itu [Ibunya mas Doni-red]. Ya tahu sendiri kan, bude-mu itu gimana. Kayanya sih Ibunya mbak Nina takut kebanting banget.”
”Loh, emang bude kerja dimana tho ma? Kok aku nggak tahu.”
”Bude-mu itu pejabat ya nduk! Udah tingkat tinggi juga. Ya kamu juga tahu tho pas nikahannya mas Abim [Kakaknya mas Doni. Putra sulungnya bude – red] kemaren gimana. Segede apa. Kemaren Mas Abim mau nikah sama Mbah Tia aja pake’ acara gontok – gontokan dulu sama bude-mu.”
”Loh, kenapa? Bukannya bude udah setuju ya Ma? Anak pejabat Pertamina kan ma mbak Tia itu?”
”Iya, anak pejabat Pertamina. Tapi udah pensiun Nduk. Kemaren aja waktu resepsinya itu besannya bude kaya kebanting banget gitu. Tahu sendiri’kan relasi - relasinya bude-mu itu kaya apa”
”Haduh. Kok aku jadi takut ya Ma. Kalo misalnya nggak jadi pun kasian mabk Nina. Gile. Dulu waktu mau sama mas Itank, ga boleh gara-gara mas Itank lulusan SMA. Padahal sekarang udah mapan juga akhirnya. Eh, sekarang dapet yang ‘kelebihan’ gitu mau nggak boleh juga. Gile. Kapan dapetnya. Kasian mbak Nina dong Ma.. Mana orangnya baik banget gitu. Aku jadi feeling guilty banget sama dia.“
“Yo wis. Lha mau piye meneh. Lha sekrang aja Mama juga nggak tahu mereka benernya gimana. Sampai sejauh apa. Tapi kalo udah sampai segininya mestinya mbak Nina pernah sampai dibawa pulang sama Mas Doni.”
”Haduh... Yang kaya begituan kalo udah gede tuh dipermasalahin ya... Itutuh, yang bikin aku sekarang males pacaran. Kebanyakan yang dipikirin. Emang lebih enak jadi anak kecil. Kalo suka tinggal suka. Kalo mau pacaran tinggal pacaran. Nggak usah mikirin agama, status ekonomi, politik, orang tua. Sebodo amat. Mau suka ya tinggal suka.
...
Ah,.. lagian kalo udah jodo juga nggak bakal kemana-mana ah Ma... Mau bude kebanting kaya apa juga kalo kersane Gusti mas Doni sama mbak Nina juga bakal tetep jadi.
Halah.. Cah gede.. Arep seneng uwong wae kok angel tenan syarate..”
”Ha? Ingetlah,.. Kan yang ngenalin mereka Chacha Ma. Emang kenapa? Bukannya mereka nggak jadi ya?”
”Nah ya itu Cha.. Tadinya sih Mama juga ngirain gitu. Terus kemaren temen Mama cerita. Katanya ibunya mbak Nina nyusul mbak Nina ke Jakarta buat ngingetin biar sama mas Doni nggak usah diterusin.”
”Haaaaa....Apanya Ma yang nggak diterusin...? Bukannya mereka kemaren dulu pendekatan tapi malah nggak jadi ya....?”
”Ya itu. Mama juga tahu-nya gitu. Tapi kok kata temennya Mama, mbak Nina itu minta pertimbangan sama Ibunya tentang mas Doni. Yah, kalo gitu sih mestinya udah panjang ceritanya Cha.......”
”Huahhhh....Waduh....Kok gini sih... Mana gua juga nggak tahu lagi Ma. Duh. Dulu itu, trakhir kali sms-an sama mbak Nina, dia crita kalo mas Doni g pernah telp apa sms lagi. Duh, aku kan jadi nggak enak waktu itu.... Kirain Mas Doni kumat brengseknya. Udah.. Abis itu sampe’ sekarang juga nggak pernah sms-an lagi sama mbak Nina. Aku masih ngerasa nggak enak gitu ma sampe sekarang...Tapi kok nggak tahunya.... Udah serius ya Ma..?””
Ya, kalo mbak Nina sampai minta pertimbangan Ibunya berarti udah panjang kan Cha...”
”Haduh.....Chacha jadi nggak enak ati nih Ma... Gimana juga dulu kan Chacha yang ngenalin mereka. Inget nggak Ma, waktu mas Doni mau telp tapi pas mas Doni telp hp Chacha, mbak Nina udah pergi. Yah...Abis itu juga dari yang Chacha nangkep, mas Doni nggak segitu banget interest-nya sama Mbak Nina...Yaw da.. Chacha juga nggak segitu mikirnya..Emangnya kenapa sih Ma kok Ibu mbak Nina nggak ngebolehin mereka?”
”Ya itu, kalo tadi temennya Mama crita, Ibunya mbak Nina keder sama Bude-mu itu [Ibunya mas Doni-red]. Ya tahu sendiri kan, bude-mu itu gimana. Kayanya sih Ibunya mbak Nina takut kebanting banget.”
”Loh, emang bude kerja dimana tho ma? Kok aku nggak tahu.”
”Bude-mu itu pejabat ya nduk! Udah tingkat tinggi juga. Ya kamu juga tahu tho pas nikahannya mas Abim [Kakaknya mas Doni. Putra sulungnya bude – red] kemaren gimana. Segede apa. Kemaren Mas Abim mau nikah sama Mbah Tia aja pake’ acara gontok – gontokan dulu sama bude-mu.”
”Loh, kenapa? Bukannya bude udah setuju ya Ma? Anak pejabat Pertamina kan ma mbak Tia itu?”
”Iya, anak pejabat Pertamina. Tapi udah pensiun Nduk. Kemaren aja waktu resepsinya itu besannya bude kaya kebanting banget gitu. Tahu sendiri’kan relasi - relasinya bude-mu itu kaya apa”
”Haduh. Kok aku jadi takut ya Ma. Kalo misalnya nggak jadi pun kasian mabk Nina. Gile. Dulu waktu mau sama mas Itank, ga boleh gara-gara mas Itank lulusan SMA. Padahal sekarang udah mapan juga akhirnya. Eh, sekarang dapet yang ‘kelebihan’ gitu mau nggak boleh juga. Gile. Kapan dapetnya. Kasian mbak Nina dong Ma.. Mana orangnya baik banget gitu. Aku jadi feeling guilty banget sama dia.“
“Yo wis. Lha mau piye meneh. Lha sekrang aja Mama juga nggak tahu mereka benernya gimana. Sampai sejauh apa. Tapi kalo udah sampai segininya mestinya mbak Nina pernah sampai dibawa pulang sama Mas Doni.”
”Haduh... Yang kaya begituan kalo udah gede tuh dipermasalahin ya... Itutuh, yang bikin aku sekarang males pacaran. Kebanyakan yang dipikirin. Emang lebih enak jadi anak kecil. Kalo suka tinggal suka. Kalo mau pacaran tinggal pacaran. Nggak usah mikirin agama, status ekonomi, politik, orang tua. Sebodo amat. Mau suka ya tinggal suka.
...
Ah,.. lagian kalo udah jodo juga nggak bakal kemana-mana ah Ma... Mau bude kebanting kaya apa juga kalo kersane Gusti mas Doni sama mbak Nina juga bakal tetep jadi.
Halah.. Cah gede.. Arep seneng uwong wae kok angel tenan syarate..”


