Thank God I call Her
At first I really got stuck here. Bercerita tentang dian. One of my best buds.*pada entri beberapa waktu yang lalu aku pernah bercerita tentang kecelakaan yang kami berdua alami. Ingat?* beberapa hari yang lalu dia sudah pulang dari rumah sakit. Sejak dirumah sakit baru sekali aku menengoknya dan baru sekali aku bisa berbicara dengannya di telepon.*aku memang sudah mencoba telepon beberapa kali tapi tidak pernah berhasil*
Yah, sedrastis ini. Kami yang tadinya sahabat dekat yang selalu cerita apapun satu sama lain sekarang menjadi seperti ini *aku teringat ketika kelas tiga smp dulu aku pernah dicuekin dia karena suatu kesalah pahaman yang fatal. Saat itu ketika kami masih sering saling bertemu saja rasanya udah nggak tertahankan. Apalagi sekarang yang diliputi dengan suasana kisruh dan nggak jelas ini.* Sejak dulu sebenarnya aku ingin telepon. Tapi takut kalau dia belum cukup kuat. Aku ingin nengok, tapi terkadang keadaannya tidak mendukung. Ada separuh.. lebih.. tiga per empat rasa segan untuk bertemu *hei, dia harus beristirahat di rumah selama satu bulan padahal ini bulan pertama kali kami kuliah.. berapa duit yang sudah keluar untuk operasinya? Ada sekitar delapan digit angka, yang sudah cukup membuatku bungkam dan semakin segan untuk meneleponnya. Gusti…*
I’m so depress.
Aku nggak tahu harus bagaimana..
Hula..beberapa teman rupanya ‘dikirim’ untuk mendorongku supaya tidak jauh darinya. Tadi siang salah seorang temanku ada yang bertanya “Te, Dian gimana?” Aku yang saat itu Cuma bisa tercekat dan menelan ludah, merasa kejatuhan perasaan bersalah yang nggak tanggung-tanggung GDnya. Seolah disadarkan..“Gusti..Dia’kan temanku. Ini Dian gitu loh! We’re talking bout noone but her! Kaya’ dia siapa aja..Dia’kan Dian..”
Sorenya aku telepon. Gosh.. Suaranya yang antusias banget membuatku pengen nangis. Sibuan sesal tertumbuk di dalamku, tapi penuh ucapan syukur juga saat menyadari kalau aku belum terlambat.
Trima kasih Tuhan…
Yah, sedrastis ini. Kami yang tadinya sahabat dekat yang selalu cerita apapun satu sama lain sekarang menjadi seperti ini *aku teringat ketika kelas tiga smp dulu aku pernah dicuekin dia karena suatu kesalah pahaman yang fatal. Saat itu ketika kami masih sering saling bertemu saja rasanya udah nggak tertahankan. Apalagi sekarang yang diliputi dengan suasana kisruh dan nggak jelas ini.* Sejak dulu sebenarnya aku ingin telepon. Tapi takut kalau dia belum cukup kuat. Aku ingin nengok, tapi terkadang keadaannya tidak mendukung. Ada separuh.. lebih.. tiga per empat rasa segan untuk bertemu *hei, dia harus beristirahat di rumah selama satu bulan padahal ini bulan pertama kali kami kuliah.. berapa duit yang sudah keluar untuk operasinya? Ada sekitar delapan digit angka, yang sudah cukup membuatku bungkam dan semakin segan untuk meneleponnya. Gusti…*
I’m so depress.
Aku nggak tahu harus bagaimana..
Hula..beberapa teman rupanya ‘dikirim’ untuk mendorongku supaya tidak jauh darinya. Tadi siang salah seorang temanku ada yang bertanya “Te, Dian gimana?” Aku yang saat itu Cuma bisa tercekat dan menelan ludah, merasa kejatuhan perasaan bersalah yang nggak tanggung-tanggung GDnya. Seolah disadarkan..“Gusti..Dia’kan temanku. Ini Dian gitu loh! We’re talking bout noone but her! Kaya’ dia siapa aja..Dia’kan Dian..”
Sorenya aku telepon. Gosh.. Suaranya yang antusias banget membuatku pengen nangis. Sibuan sesal tertumbuk di dalamku, tapi penuh ucapan syukur juga saat menyadari kalau aku belum terlambat.
Trima kasih Tuhan…
