harga sebuah cita-cita
Setiap dari kita sewaktu kecilnya pasti mempunyai cita-cita yang saking langit tingginya [anak-anak tidak pernah melihat syarat-mutlak-dari-cita-citanya yang tidak ada, atau mungkin setelah dia besar sedikit demi sedikit hilang dari dalam dirinya. Saya contohnya, mengesampingkan gigi yang bertambal di sana-sini, mata minus-silinder, dan tinggi yang hanya one-and-a-half-meter, ketika masih sangat kecil bercita-cita untuk menjadi pramugari atau pilot. Yang mana hal ini selalu menjadi bahan olok-olokan bagi teman-teman saya memngingat tinngi saya yang hanya sebatas ketek mereka.]
Okey, tinggalkan saya-yang-mempunyai-cita-cita-saking-langit-tingginya, mengesampingkan syarat-syarat wajib yang kebanyakan ditakdirkan untuk ‘tidak ada’, orang [yah, kebanyakan yang seumur dengan saya] cenderung RELA untuk melakukan apaaaaaaa….saja yang dirasa perlu demi meraih sebuah cita-cita yang sudah menjadi cem-cemannya.
Berapa banyak sih kasus joki spmb yang sudah ketahuan? Padahal jauh-sangat-lebih-ekstra-banyak lagi yang tidak ketahuan.
Berapa banyak calon mahasiswa yang rela membayar lebih untuk bisa masuk di universitas/jurusan yang diidam-idamkannya [bukan nyogok maksud saya. Sudah nggak zamannya lagi tau!!! Sekarang ini banyak universitas-universitas negeri yang menyediakan program khusus untuk calon-calon mahasiswa yang mau membayar jauh lebih banyak demi mendapatkan sebuah kursi, but also bring a gained. Which is easier test that guarantee them to passed].
Yah, pengecualian memang untuk keluarga pengajar universitas tersebut dan sejenisnya yang tanpa harus membayar lebih dan usaha ekstra-keras-penuh-daya-semangat-keringat-air mata-dan darah-sampai-sampai-menghabiskan-sisa-kewarasan-yang –tersisa supaya dapat diterima. [ironis memang, mengindikasikan mengapa sampai sekarang Indonesia masih terpuruk dalam jurang ketidakmajuan. Yah, bagaimana Indonesia bisa maju kalau dalam dunia pendidikan yang menjadi tiang penyangga utama masa depan bangsa saja sudah keropos. Nepotisme. Fuck]
…….
Saya lalu teringat….
Seorang teman, ketika saya mengabarkan bahwa saya diterima pada program studi favorit saya di sebuah universitas yang terletak 7 jam perjalanan kereta sancaka dari kota saya merespon “HAH!!! Di UN***??? Berarti kamu ngejar FKU-nya [okey, prodi pilihan saya memang pend.dokter] banget ya..??”
“….!!!”
Dalam hati saya berteriak “YA JELASLAH!!! Cita-cita gw gitu loh!!!”
Coba saja. Berapa banyak anak-anak yang sudah diterima di UGM melalui Ujian Masuk Mandiri, tetapi masih mengikuti SPMB ‘hanya’ untuk mengejar supaya diterima di ITB. Yang mana sebenarnya mereka bisa saja berleha-leha santai-santai setelah diterima, tetapi mereka memilih untuk meneruskan perjuangan mereka karena ingin meraih sesuatu yang lebih tinggi [ITB memang tekniknya paling oke’kan!! Ayo bilang kamu setuju dengan saya… ;p ]
……
Dan memang itulah harga sebuah cita-cita. Tabungan dosa atas joki dan dirinya sendiri, pembayaran ekstra-luar-biasa-lebih mahal, kerja ekstra-keras-penuh-daya-semangat-keringat-air mata-dan darah-sampai-sampai-menghabiskan-kewarasan-yang –tersisa, dan masih banyak lagi pengorbanan demi mencapai sebuah cita-cita. Karena memang sangatlah mahal. Harga sebuah cita-cita
Okey, tinggalkan saya-yang-mempunyai-cita-cita-saking-langit-tingginya, mengesampingkan syarat-syarat wajib yang kebanyakan ditakdirkan untuk ‘tidak ada’, orang [yah, kebanyakan yang seumur dengan saya] cenderung RELA untuk melakukan apaaaaaaa….saja yang dirasa perlu demi meraih sebuah cita-cita yang sudah menjadi cem-cemannya.
Berapa banyak sih kasus joki spmb yang sudah ketahuan? Padahal jauh-sangat-lebih-ekstra-banyak lagi yang tidak ketahuan.
Berapa banyak calon mahasiswa yang rela membayar lebih untuk bisa masuk di universitas/jurusan yang diidam-idamkannya [bukan nyogok maksud saya. Sudah nggak zamannya lagi tau!!! Sekarang ini banyak universitas-universitas negeri yang menyediakan program khusus untuk calon-calon mahasiswa yang mau membayar jauh lebih banyak demi mendapatkan sebuah kursi, but also bring a gained. Which is easier test that guarantee them to passed].
Yah, pengecualian memang untuk keluarga pengajar universitas tersebut dan sejenisnya yang tanpa harus membayar lebih dan usaha ekstra-keras-penuh-daya-semangat-keringat-air mata-dan darah-sampai-sampai-menghabiskan-sisa-kewarasan-yang –tersisa supaya dapat diterima. [ironis memang, mengindikasikan mengapa sampai sekarang Indonesia masih terpuruk dalam jurang ketidakmajuan. Yah, bagaimana Indonesia bisa maju kalau dalam dunia pendidikan yang menjadi tiang penyangga utama masa depan bangsa saja sudah keropos. Nepotisme. Fuck]
…….
Saya lalu teringat….
Seorang teman, ketika saya mengabarkan bahwa saya diterima pada program studi favorit saya di sebuah universitas yang terletak 7 jam perjalanan kereta sancaka dari kota saya merespon “HAH!!! Di UN***??? Berarti kamu ngejar FKU-nya [okey, prodi pilihan saya memang pend.dokter] banget ya..??”
“….!!!”
Dalam hati saya berteriak “YA JELASLAH!!! Cita-cita gw gitu loh!!!”
Coba saja. Berapa banyak anak-anak yang sudah diterima di UGM melalui Ujian Masuk Mandiri, tetapi masih mengikuti SPMB ‘hanya’ untuk mengejar supaya diterima di ITB. Yang mana sebenarnya mereka bisa saja berleha-leha santai-santai setelah diterima, tetapi mereka memilih untuk meneruskan perjuangan mereka karena ingin meraih sesuatu yang lebih tinggi [ITB memang tekniknya paling oke’kan!! Ayo bilang kamu setuju dengan saya… ;p ]
……
Dan memang itulah harga sebuah cita-cita. Tabungan dosa atas joki dan dirinya sendiri, pembayaran ekstra-luar-biasa-lebih mahal, kerja ekstra-keras-penuh-daya-semangat-keringat-air mata-dan darah-sampai-sampai-menghabiskan-kewarasan-yang –tersisa, dan masih banyak lagi pengorbanan demi mencapai sebuah cita-cita. Karena memang sangatlah mahal. Harga sebuah cita-cita

0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home