She's give up Ma...
She’s give up Ma…
Perempuan tegar yang selama ini jadi salah satu inspirasiku itu menyerah.
Tampaknya diya tidak mau berperang melawan goresan tangan takdir yang sudah menempatkannya dalam situasi ini.
She’s give up Ma…
Setitik harapan muncul, tapi diya tetap tidak berubah. Selama ini cinta memang tidak pernah ramah pada wanita. Juga aku. Kamu. Kita, Ma..
Perlukah aku tanyakan kenapa.
She’s give up Ma…
Saat membaca sms darinya kemarin batinku ikut menangis. Bersama diya yang juga tersedu saat menulis pesan itu
“eMasnya yang mana lagi Cha?Berat kali kalo yang 24 karat,….aku kangen. dah kangen pulang Cha..”
Apakah benar yang aku dengar itu rintihan Ma? Apa benar yang aku dengar itu teriakan pedih sayatan luka? Apakah itu suatu pertanda?
Seperti Mama yang selalu bilang kalau aku selalu pulang setiap kali aku kalah.
Apakah dia juga kalah Ma?
Kalah dari nasib yang seolah sudah menjatuhkan palu penghakiman atas dirinya.
Apakah sesakit itu rasa yang dipendamnya?
She’s give up Ma…
Dan aku disini juga ikut menangis merasakan ironi yang dirasakannya Ma..
Ingin berlari mengejar orang yang kita sayangi, tapi kaki ini masih terantai dengan hierarki. Dengan dikotomi latar belakang yang diciptakan nenek buyut kita.
Persetan dengan bibit, bebet, bobot! Apa mereka bisa memberikan apa yang selama ini cinta berikan?
senyuman, tawa, bahagia yang datang saat dia ada bersama..
Apakah hierarki juga yang mengharuskannya menundukkan kepala menerima putusan Ibunya untuk berhenti. Berhenti mencintai. Berhenti jalani. Berhenti. Berhenti. Berhenti.
Kalau begitu lalu ajari.
Ajari diya bagaimana caranya untuk mencintai dan memaafkan.
Bagaimana caranya mencintai dirinya sendiri.
Dan memaafkan hidupnya yang tidak sesempurna rajutan mimpinya
Ajari dia
Karena takdir seolah punya cara tersendiri untuk itu.
Perempuan tegar yang selama ini jadi salah satu inspirasiku itu menyerah.
Tampaknya diya tidak mau berperang melawan goresan tangan takdir yang sudah menempatkannya dalam situasi ini.
She’s give up Ma…
Setitik harapan muncul, tapi diya tetap tidak berubah. Selama ini cinta memang tidak pernah ramah pada wanita. Juga aku. Kamu. Kita, Ma..
Perlukah aku tanyakan kenapa.
She’s give up Ma…
Saat membaca sms darinya kemarin batinku ikut menangis. Bersama diya yang juga tersedu saat menulis pesan itu
“eMasnya yang mana lagi Cha?Berat kali kalo yang 24 karat,….aku kangen. dah kangen pulang Cha..”
Apakah benar yang aku dengar itu rintihan Ma? Apa benar yang aku dengar itu teriakan pedih sayatan luka? Apakah itu suatu pertanda?
Seperti Mama yang selalu bilang kalau aku selalu pulang setiap kali aku kalah.
Apakah dia juga kalah Ma?
Kalah dari nasib yang seolah sudah menjatuhkan palu penghakiman atas dirinya.
Apakah sesakit itu rasa yang dipendamnya?
She’s give up Ma…
Dan aku disini juga ikut menangis merasakan ironi yang dirasakannya Ma..
Ingin berlari mengejar orang yang kita sayangi, tapi kaki ini masih terantai dengan hierarki. Dengan dikotomi latar belakang yang diciptakan nenek buyut kita.
Persetan dengan bibit, bebet, bobot! Apa mereka bisa memberikan apa yang selama ini cinta berikan?
senyuman, tawa, bahagia yang datang saat dia ada bersama..
Apakah hierarki juga yang mengharuskannya menundukkan kepala menerima putusan Ibunya untuk berhenti. Berhenti mencintai. Berhenti jalani. Berhenti. Berhenti. Berhenti.
Kalau begitu lalu ajari.
Ajari diya bagaimana caranya untuk mencintai dan memaafkan.
Bagaimana caranya mencintai dirinya sendiri.
Dan memaafkan hidupnya yang tidak sesempurna rajutan mimpinya
Ajari dia
Karena takdir seolah punya cara tersendiri untuk itu.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home